Dewasa ini, terutama semenjak media sosial menjadi alat komunikasi publik utama yang hampir digunakan oleh semua orang, tampaknya semua masalah menjadi sangat mudah muncul ke permukaan dan menyebar seperti jamur dan lumut di musim hujan. Mulai dari masalah remeh yang menjadi berlarut-larut, hingga masalah fatal yang terjadi di berbagai lingkup, semuanya bisa didapat dengan mudah di media sosial.
Sayangnya, teknologi yang mutakhir ini tidak diimbangi dengan kebijaksanaan penggunanya. Salah satu contoh dari kurangnya kebijaksaan pengguna media sosial adalah sifat judgemental mereka yang berlebihan dan betapa seringnya mereka terjebak dalam dikotomi. Masyarakat media sosial selalu dibagi dalam dua kubu besar di mana mereka merasa harus memilih salah satunya. Sebenarnya semua bentuk dikotomi sudah lama ada di dunia ini, namun semenjak media sosial bangkit, entah kenapa semakin terlihat betapa manusia sangat terjebak dan merasa harus memilih salah satunya. Hitam dan putih, salah dan benar, ini atau itu, begini atau begitu. Dua kubu ini biasanya akan bertanding, argumen siapakah yang harus menang dan kalah, siapakah yang benar dan siapakah yang salah.
Menurut saya pribadi, seseorang tidak harus memihak mana yang salah atau benar, manakah yang menang atau kalah. Salah dan benar, menang dan kalah, semuanya bersifat relatif, jika dilihat dari kacamata makhluk biasa seperti manusia, sedangkan manusia juga tidak punya hak untuk menggunakan kacamata Tuhan untuk menghakimi sesamanya. Daripada melihat semuanya hanya dari dua sisi yang ekstrim dan semakin terpolarisasi, mengapa tidak mulai melihat semuanya dalam spektrum warna yang berwarna-warni? Sepertinya melihat dalam banyak warna adalah hal yang lebih arif daripada harus memaksakan diri untuk meyakini dikotomi yang terlalu sempit.
Sebagai contoh, A memiliki janji untuk bertemu B pada pukul 08.00 WIB di kampus, namun setelah 08.30 WIB A juga belum sampai sehingga B mulai bosan menunggu dan jengkel, B mulai menggap bahwa A sangat salah karena sudah membuatnya menunggu dan membuang waktunya. Di sisi lain, A sudah berusaha untuk datang tepat waktu, dia bahkan berangkat sebelum pukul 08.00 WIB, namun dalam perjalanan A mendapatkan halangan, rantai sepeda motornya lepas dan tidak bisa menghubungi si B karena hanya mengandalkan wi-fi. B yang mulai jengkel mulai bercerita pada C bahwa dia kecewa pada A, karena telah membuatnya menunggu lama di kampus, C juga menilai bahwa A sangat salah karena sudah membuat menunggu ditambah dengan asumsi-asumsi buruk mereka.
Dari cerita di atas, kita, orang ketiga serba tahu, mengerti bahwa A sebenarnya tidak sepenuhnya salah, namun dinilai oleh B dan C sangat salah, padahal apabila mau berbaik sangka, B tidak perlu merasa sangat jengkel dan C juga tidak perlu memihak berlebihan pada B. C sebagai orang ketiga yang tidak serba tahu, harusnya dapat menjadi penengah dengan tidak memihak dan justru memberikan asumsi positif seperti, "Mungkin A sedang ada sedikit masalah di jalan atau terjebak macet." sehingga tidak menimbulkan penilaian bahwa A mutlak salah. Pasti ada sebab di mana seseorang melakukan suatu hal, sehingga harus dipastikan dulu apakah sebabnya.
Kebanyakan dari pengguna media sosial hari ini adalah manusia-manusia yang hanya menerima informasi yang dapat dilihat permukaannya saja, sehingga sebab dari suatu masalah seringkali dilupakan, akibatnya mereka terlalu cepat menilai dan memihak sesuatu. Maka dari itu, melihat sesuatu dengan spektrum itu penting karena hidup memang tidak selalu hitam dan putih saja.